Menanggapi diskusi antara MA dan PCA (Inisial Akun di
FB.red). Agar yang lain mendapat manfa'at, maka alangkah baiknya al-faqir
tulis semua komntar al-faqir sndiri di sini, saat mengomentari status Muhammad
Anshorulloh yg berdiskusi dengan Pecinta Ilmu Agama berkaitan masalah ikhtilaf
ulama madzhab dan tentang Isbal atau tahthwilul akmam berikut :
Seperti yg dipahami ukhti PECINTA
ILMU AGAMA (PCA) (Sebab saudaranya sedng belajar di Hadraamaut dan fbnya dia yg
mnggunakannya), bahwa anda terkesan ingin memaksakan statemen bahwa para ulama
syafi’iyyah menentang pendapat imam Syafi’i…saya tak akan panjang lebar
membicarakan hal ikhtilaf antara ulama syafi’iyyah dan imam Syafi’I karena ini
bukan sdang membicarakannya. Yg jelas para ulama berbeda pndapat sebenrnya
hanya mentarjih bukan
menentang. Oleh karenya dlm fiqih madzhab ada sebutan mujtahid tarjih yg tugasnya member penilaian kuat dan lemahnya terhadap qoulnya imam Madzhab atau antara pendapatnya imam madzhab dgn ashab atau antara madzhab yg satu dgn madzhab yg lain, yg mnnyandang gelar mujtahid tarjih sprti Imam Nawawi dan Rofi’I dlm madzhab Syafi’i. Bahkan ada ulama yg mengaskan bahwa bebrapa pendapat tersebut sebagai aqwal dr imam Syafi’I sndiri atau ashab yg kmudian ditarjih. Saya tak panjang lebar lg bicara soal ini…
menentang. Oleh karenya dlm fiqih madzhab ada sebutan mujtahid tarjih yg tugasnya member penilaian kuat dan lemahnya terhadap qoulnya imam Madzhab atau antara pendapatnya imam madzhab dgn ashab atau antara madzhab yg satu dgn madzhab yg lain, yg mnnyandang gelar mujtahid tarjih sprti Imam Nawawi dan Rofi’I dlm madzhab Syafi’i. Bahkan ada ulama yg mengaskan bahwa bebrapa pendapat tersebut sebagai aqwal dr imam Syafi’I sndiri atau ashab yg kmudian ditarjih. Saya tak panjang lebar lg bicara soal ini…
Anda MA menukil redaksi berikut utk
menyanggah hujjah ukhti PCA :
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة
وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث
بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم
الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء قال بن عبد البر مفهومه أن الجر لغير الخيلاء لا
يلحقه الوعيد إلا أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال وقال النووي الإسبال
تحت الكعبين للخيلاء فإن كان لغيرها فهو مكروه وهكذا نص الشافعي على الفرق بين الجر
للخيلاء ولغير الخيلاء قال والمستحب أن يكون الإزار إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة
ما تحته إلى الكعبين وما نزل عن الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيلاء وإلا فمنع
تنزيه لأن الأحاديث الواردة في الزجر عن الإسبال مطلقة فيجب تقييدها بالإسبال للخيلاء
انتهى
Saya akan bahas secara singkat saja
terkait qoul-qoul tsb yg anda tampilkan.
Jika anda teleti dan jeli serta memahami
ilmu lughah, maka anda akan mengetahui dan memahami bahwa sebenarnya Ibnu Hajar
tidak mendukung keharaman isbal secara muthlaq juga tidak mngatakan makruh bagi
yang berisbal dengan tanpa khuyala. Simak…!
Ibnu Hajar berkata :
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار
لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث
تَحْرِيمه أَيْضًا
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang
bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.”
(Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Menurut pendapat yg mengharamkan isbal
scra muthlaq, maka kutipan Ibnu Hajar ini dijadikan hujjah bahwa beliau
menguatkan pndpat yg mngharamkannya scra muthlaq.
Tentu saja jika kutipan Ibnu Hajar hanya
sampai di situ, maka pembaca akan berkesimpulan yg sama.
Namun bila dicek kembali perkataan Ibnu
Hajar seutuhnya, ternyata kalimat itu belum selesai. Adapun perkataan Ibnu
Hajar selengkapnya sebagai berikut:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار
لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث
تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ
عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى
الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء
“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal
(menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan
karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. NAMUN
taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain
tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus
dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak
diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.
Catatan :
1. Petikan secara utuh di atas jelas
menunjukkan bahwa beliau tidak menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal
dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong tetap diharamkan
oleh banyak hadis ”
2. Petikan secara utuh di atas jelas
menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan
sombong itu dosa besar, sedang isbal tanpa sombong tidak diharamkan ”.
Jika pendapat yg mengharamkan isbal
berdalih dengan ucapan Ibnu Abdil Bar :
إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ
الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال
Maka ini sungguh bukan dalil
pengharamannya secara muthlaq.
Kemudian jika ditinjau dari sisi ilmu
lughah, maka akan kita ketahui bahwa Ibnu Hajar TIDAK mendukung pengharaman
Isbal secra muthlaq dan juga boleh (tidak makruh) jika tanpa khuyala.
Perhatikan :
Pertama : Dilihat dari lafadz USTUDILLA
adalah bentuk kata kerja majhul yaitu kata kerja pasif untuk waktu lampau. Pada
dasarnya, shigah majhul (bentuk kata kerja pasif) digunakan karena beberapa
maksud sbgaimana disebutkan dalam kitab-kitab Nahwu :
1. Lil
iejaz (meringkas)
2. Lil
‘ilmi bih (telah diketahui pelakunya)
3. Lil
jahli bih (tidak diketahui pelakunya)
4. Lil
khauf ‘alaih (merasa khawatir)
5. Lil
khauf minhu (merasa takut)
6. Lit
tahqier (merendahkan)
7. Lit
ta’zhiem (mengagungkan)
8. Lil
ibahmi (menyamarkan pada pendengar)
Kedua : Kata ISTIDLAL dalam konteks ini
harus dijelaskan secara istilahi bukan lughowi karena demikianlah yg digunakan
oleh ahli ushul fiqih dan fiqih. Maka dengan demikian memiliki makna dua :
1. menegakkan
dalil secara mutlak, baik dalil itu berupa nash, ijma’ maupun yang lainnya.
2. menegakkan
dalil yang bukan berupa nash, ijma’, dan qiyas.
Ketiga : kata Istidlal isytiyaqnya dari
asal dalla yadullu dan mngikuti wazan istaf’ala.
Dalam konteks ini berarti istidlal
memiliki makna ittidzkhaz yaitu menjadikan. Artinya, segala sesuatu (selain
Quran, sunah, ijma’, dan qiyas) yang dijadikan dalil. Adapun Quran, sunah,
ijma’, dan qiyas ditegakkan sebagai dalil bukan sebagai produk/karya para
mujtahid yang lahir dari ijtihad mereka. Adapun yang diakui sebagaiistidlaal
adalah istishab dan lain-lain. Maka sesuatu yang dikatakan oleh setiap imam
berdasarkan ketetapan ijtihadnya, seakan-akan ia menjadikannya sebagai dalil
Keempat : Menurut ilmu Balaghah dan
Ma’ani, istidlal tsb masuk kategori :
1. Qiyas
iqtirani dan qiyas istitsnai. Keduanya jenis qiyas mantiq. Contoh Qiyas
iqtirani: arak itu memabukkan-Setiap yang memabukan haram. Natijahnya: Arak
haram. Contoh qiyas istitsnai: Jika arak itu mubah maka dia tidak memabukkan.
Namun karena dia memabukkan, natijahnya: maka dia tidak mubah.
2. Istiqra, yaitu menelusuri point-point
parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara qathi'y
atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil tertentu tapi dengan
dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun berbeda maksud. Selanjutnya
dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan satu cakupan hukum.
.
3. Istishhab, yaitu penetapan hukum suatu
perkara di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan
atau berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan
terjadinya perubahan (hukum tersebut).
Maka dengan penjelesan ini, jelas Ibnu
Hajar tidak sedang mendukung pengharaman isbal secara muthlaq dan juga tidak
memakruhkannya bagi yg berisbal tanpa khuyala. Hal ini banyak didukung oleh
pendapat para ulama kibar (besar), berikut :
1. ويحرم وهو كبيره
إسبال شيء من ثيابه ولو عمامة خيلاء في غير حرب فإن أسبل ثوبه لحاجة كستر ساق قبيح
من غير خيلاء أبيح ما لم يرد التدليس على النساء ومثله قصيرة اتخذت رجلين من خشب فلم
تعرف ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين
ذلك
2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz
1 hal : 473 mngatakan :
ويكره زيادته إلى تحت كعبيه بلا حاجة على الصحيح
من الروايتين وعنه ما تحتهما في النار وذكر الناظم من لم يخف خيلاء لم يكره والأولى:
تركه هذا
“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata
kaki tanpa ada hajat mnurut pndapat yg shohih..si nadzim mnyebutkan jika tidak
takut sombong maka TIDAK MAKRUH…”
3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini
bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في:
((شرح العمدة)) (ص361-362) : (فأما إن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة
أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار
القاضي وغيره
“ Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syrh
Umdah “ Adapun jika tidk dngn khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat
atau tdk bermaksud sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka
tidaklah mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.
4. Imam syafi’I sendiri memiliki pndapat
lain yg dinukil oleh imam Nawawi dlm kitab majmu’nya berikut :
لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء
، فأما السدل لغير الخيلاء في الصلاة فهو خفيف ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر
رضى الله عنه وقال له : إن إزاري يسقط من أحد شقي . فقال لهلست منهم
“ Tidak boleh sadl atau isbal di dalm
sholat maupun diluar sholat jika karena sombong. Adapun sadl bukan karena
sombong di dalam sholat maka itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw
kepada Abu Bakar yang berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke
bumi “ Maka Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.
5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan
dalam shohih MUSLIM berikut :
من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة فإن الله
لا ينظر إليه يوم القيامة
“ Barangsiapa yang mnyeret sarungnya,
tidak berbuat itu selain sifat sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di
hari kiamat “. (HR. Muslim).
Nash ini jelas bahwa isbal tidaklah haram
kecuali karena melakukannya dgn sifat sombong.
Demikian penjelasan ini secara
singkat...smga bermanfaat...
No comments:
Post a Comment