Thursday, May 23, 2013

Makalah : Menyingkap Interpretasi Sunnah dan Bid'ah dalam Konteks Amalan Salafussholeh

Pendahuluan

2013-05-23_210321Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam, Yang telah mengutus Nabi dan Rosul-Nya menjadi penunjuk jalan bagi semesta alam sesuai dengan fitrah dan karakteristiknya masing-masing agar menjadi makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan ke Haribaan Nabi Muhammad saw, yang telah menyampaikan risalah dengan sempurna, terang, gamblang dan tak akan hilang. Sunnahnya menjadi pijakan bagi semua yang mengikutinya untuk dipraktikkan dalam kehidupannya menuju kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.   

Sunnah dan bid’ah adalah dua kata yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. Masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.  

Karena itu banyak orang terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diriwayatkan juga oleh Imam Bukhori dalam haditsnya dari Ibnu Mas’ud ra).

Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: "Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga". Selain hadits ini masih banyak lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah ra. 

Dari hadits Jabir yang pertama di atas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw, berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah.

Pengertian Sunnah

Secara etimologis (bahasa) kata sunan adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 :

‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .

Artinya, bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai permasalahan yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.

Demikian juga dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan oleh para ulama ialah: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhamad saw baik berupa ucapan (hadits), aksi (perbuatan) maupun determinasi atau pengakuannya.

Untuk bisa mentafsirkan dan menterjemahkan sunnah Nabi saw, kita harus memahaminya secara konprehensip baik dari kaidah bahasa arab yang berurusan dengan hadits maupun asbabul wurud yang berkaitan dengan perbuatan dan determinasinya. Sunnah tidak bisa diartikan dan ditafsirkan dengan kemampuan otak manusia. Sunnah merupakan wahyu, terkandung didalamnya hikmah yang terkadang tidak mampu dijangkau oleh otak manusia. Manusia hanya bisa menjangkau apa yang bisa dicerna oleh indra dan diukur dengan ruang dan waktu di mana manusia itu berpijak. Ketika sunnah diartikan secara harfiah, maka akan timbul ketimpangan dalam mengimplementasikannya. Oleh karena itu sunnah harus diinterpretasikan sesuai dengan kaidah dan asbabul wurud yang telah dirumuskan oleh para ulama yang memiliki kaliber dalam menpresentasikannya, sebagai barometer dari permasalahan-permasalah yang berkembang, tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh Nabi saw, tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad mulai dari kurun sahabat dan kurun-kurun setelahnya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw. Dengan demikian, kita akan dapat memahami sunnah Nabi saw sesuai dengan ruang dan waktu sholih likulli zaman wa makan.

Pengertian Bid'ah

Membahas tentang bid'ah cukup rumit dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (wafat 304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala Ahlil Zaighi wal Bida'" (Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah). Setelah itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah

Ada dua kelompok dalam mendefinisikan kata bid'ah yaitu kelompok pertama menggunakan pendekatan etimologis dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis.

Kelompok pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah saw disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid'ah untuk sesuatu yang baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.

Banyak ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam dan Imam Nawawi, mereka mengatakan bahwa ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa "inilah sebaik-baik bid’ah”. 

Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

1-Riwayat Abu Nu’aim;

البدعة بدعتان : بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم                    

"Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela".

2-Riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة انتهى 

"Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela".

Imam Al-Qurtubiy berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah di perjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017-red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”.

Imam Ghozali menegaskan: "Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama". Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi kehidupan.

Kelompok kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut mencakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid'ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist yang artinya "setiap bid'ah adalah sesat", terhadap semua bid'ah yang ada sesuai definisi tersebut. Mereka mengatakan "Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad saw. menyembunyikan risalah, karena Allah swt. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinya "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis). 

Pendekatan bid'ah seperti ini tidak dapat diterima karena, bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalahdholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya:  

1- Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf  (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

2- Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri  berkata : "itu sebaik-baik bid'ah". 

3-  Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang atau di depan namanya.

3-  Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu dan sebagainya adalah haram. Sebab di zaman Nabi saw tidak ditemukan. 

4- Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.   

5-  Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

6- Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Nabi saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.           

Dan masih banyak lagi yang lainnya. Dari dua pendekatan ini, maka kita harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang lain. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah Nabi saw, mengenai soal-soal baru  yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Salafus Sholeh

Kata salafussholeh berasal dari dua kata yaitu salaf dan sholeh yang berarti salaf adalah telah lampau, orang salaf berarti orang lampau (zaman dahulu) sedangkan sholeh merupakan kata ajektif yang menempel pada kata salaf yang berarti baik dan sesuai dengan tuntunan. Dengan begitu kata salafus sholeh berarti orang-orang zaman dahulu yang baik dan sesuai dengan tuntunan.

Istilah salafus sholeh sendiri diambil dari sebuah hadits yang artinya : "Sebaik-baik kurun (masa) adalah kurun saya, lalu kurun setelahnya, lalu kurun setealhnya, lalu kurun setelahnya... " (H.R. Bukhori Muslim).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits diatas adalah orang-orang yang hidup pada abad pertama hingga abad keempat Hijriyah sehingga ulama yang hidup di zaman itu merupakan orang-orang pilihan yang diberi keistimewaan tersendiri oleh Allah swt mampu menginterpretasikan dasar-dasar hukum islam yang bersumber dari al-Qur'an, Sunnah.

Dalam mengimplementasikan sunnah dan bid'ah, Salafus Sholeh mengacu pada dua hal yaitu :

1-Firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .

2-Hadits yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik seperti amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya yang diamalkan oleh para sahabatnya. Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. 

Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak.

Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya  yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya  petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah, tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram.    

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi  saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.  

Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah, mengusap-usap mimbar Nabi saw. di dalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.

Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar). 

Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (do'a perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat. To be contonue...

Wallahu a'lam bissowab, semoga bermanfaat!

Arsip makalah Seminar Ikatan Mahasiswi Indonesia Al-Ahgaff (IKMIA) periode 2012-2013  Oleh : Moh. Faiz Nur Kholis MA

No comments:

Post a Comment

Inilah Penjelasan Qurban 1 Kambing Untuk 1 Keluarga

Di dalam Mughnil Muhtaj juz 4 hal: 359 cetakan Daarul Fikr menjelaskan bahwa : “Dipandang dari hukum asalnya, kambing yang telah dite...