Sunnah dan bid’ah adalah dua soal
yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat
ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan
batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas
pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena
itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan
dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka
akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya
dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah
lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan
suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik
ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik
ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal
yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari
Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia
memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan
kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia
tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih
beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan
dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para
ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan
berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari
hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah
dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu
yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari
hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah)
berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa
yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan
dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib
Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan:
‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti
jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan
hikmah-Nya
dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada
Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa
cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan
maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan
mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfahani.
Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us
Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat
kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah
dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang
berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang
dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh
didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia
mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah
sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan.
Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah
(jalan).
Karena
itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah
saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang
yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap
berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita
juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami
jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri
persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam
memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal
Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai
dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini
semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela
dan tidak dilarang) oleh Rasulullah
saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh
beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui
bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi.
Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulullah saw.
tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu
sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak
diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau
dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak
menolak sesuatu yang baik, jika yang
baik itu tidak bertentangan dengan
tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah
yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang
diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah,
kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus
oleh Rasulullah saw.!
Mengenai
persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah
saw. sering membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para
sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat
mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya
sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang
lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah
kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun
para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak
berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena
agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan
batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw.
berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw.
jika
amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi
ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan
tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.,
dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah
menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan
seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa,
karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu
saja dengan berdalil sabda Rasulullah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…”
(“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah,
wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya
haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan
secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada
hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang
membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya
yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang
dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw.
‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat
lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya
petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri
sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi
tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah
itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah
timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih
memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam
Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu
Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada
dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah,
maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat
Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا
اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ
بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ
يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an,
Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah
perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah
tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik
dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama
pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang
menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu
‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan
lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu
adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah
muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya
bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi
menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya
haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari
4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan
untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang
tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik
menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu
yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu,
maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada
hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau
ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid
fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit
Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam
dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam
Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan
masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak
saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu
dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah
(bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh
yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah
mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar
bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy
Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul
Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi
Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim
jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin
memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan
kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara
dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam
belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain
sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai
dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau
haram, maka sebagian amalan-amalan para
sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah
saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai
Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan
Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan
dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang
menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan
khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau
sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian
gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel
dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang
bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu
kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang
bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan
adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.
Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di
Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya.
Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata
ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya.
Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah,
menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga
masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus
meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern
lainnya.
Masih banyak lagi
contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu
memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun
berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati
semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini
belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para
pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam
hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat
dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda
yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki
mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang
dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun
tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita,
selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk
dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah
dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang teknologi
yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar
umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para
ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir
ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan
ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya
mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil
syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum
salaf sepeninggal Rasulullah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan
Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan
setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat
diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut
dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us
Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang
dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah
dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada
masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu
Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu
yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam
kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan
orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf
dipadang ‘Arafah bukannya
didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di
Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam
yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina),
tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak
ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah
pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak
kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan
niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang
mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum
Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering
diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu
Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá
perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika
ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon
hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal
tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu
hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada
sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam
shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti
‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra.
sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw.
sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama
Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk
dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha.
Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha
ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra
seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa
dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga
‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah,
tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah
yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat
diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau
dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas
perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah
hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki
Al-Hasani yang berjudul Haulal
Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan
oleh orang fanatik (extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum
salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu.
Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui
bahwa Asy-Syar’i (Rasulullah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah
dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan
menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT.
‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT.
berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh
keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu
Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang
menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. (
HR.Muslim)
Dalam hadits
riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya
dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun,
dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia
terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak
lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud
dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan
Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud
dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang
diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna
hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits
dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan
adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada
pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk
kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara
agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni
jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah
Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan
itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw.
saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain
: “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu
dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai
zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah
Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai
Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu
apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah
“ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan
kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini
golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu
bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru,
baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak.
Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i
dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan
ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah
yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan
dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap
perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah
mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan
dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan
yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat
diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka yang hidup pada
abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan
terlebih dahulu nash-nash yang khos
(khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang
demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan
penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu
amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini,
kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu
semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. dan menjauhi
yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari
pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun
diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan
tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang
kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada
kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta
tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif
setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini
satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan
hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik
antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara
muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan,
antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik
pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi
Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat
klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih
dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus
berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan
sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi
orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
No comments:
Post a Comment