Pemahaman bid’ah
secara tegas diungkapkan oleh beberapa ulama kenamaan, pemahaman mereka
tentulah berangkat dari penggalian dalil-dalil Al Qur’an maupun Hadits yang
komprehensif.
Imam Syafi’i
Rahimahullah dalam ucapan beliau tentang masalah ini terdapat dua riwayat;
Pertama, riwayat
Abu Nu’aim:
“bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji. sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela.”
Kedua, riwayat
al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i:
“perkara-perkara baru itu ada dua macam; pertama, perkara baru yang menyalahi Al Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma, inilah bid’ah dholalah. kedua, adalah perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertantangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela.”
Al-Hadidi dalam
Syarah Nahjul Balagah, beliau berkata;
“lafadz bid’ah
dipakai untuk dua pengertian; (1) sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an
dan Sunnah seperti puasa hari raya nahar dan pada hari tasyriq. perbuatan
tersebutwalaupun berbentuk puasa tetapi terlarang dilakukan. (2) sesuatu yang
tidak ada keterangan nash padanya melainkan didiamkan oleh syara’ lalu
dilakukan oleh kaum muslimin sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bahwa, “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat ada dalam neraka”
adalah dimaksudkan untuk bid’ah sesuai pengertiannya yang pertama. sedangkan
perkataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu “sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah adalah
bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah dia” dimaksudkan untuk bid’ah berdasarkan
pengertiannya yang kedua”.
Al-Khatabi
berkata dalam Ma’aalimus Sunan IV/301;
“sabda Nabi
“setiap yang baru itu bid’ah” adalah khusus pada sebagian perkara dan tidak
pada sebagian yang lain. bid’ah itu sendiri adalah segala sesuatu yang
diada-adakan dengan tanpa sumber dari agama dan juga tanpa timbangan dan qiyas
darinya. adapun sebagian perkara baru yang didasarkan kepada kaidah-kaidah
ushul dan dapat dikembalikan kepadanya, maka tidaklah dia termasuk bid’ah
(secaya syar’i) dan tidaklah pula sesat.”
Ibnu Abdil Barr
berkata;
“bid’ah itu
menurut ucapan orang-orang arab adalah mengada-adakan dan mengawali sesuatu
yang belum ada. maka perkara yang diada-adakan dalam agama yang menyalahi
sunnah yang telah diamalkan, maka itulah bid’ah yang tidak ada kebaikan dan
wajib mencelanya, mencegah pelaksanaannya, memerintahkan untuk menjauhinya dan
mengusir pelakunya apabila telah nyata baginya kejelekan dari jalan yang
ditempuhnya. sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi sumber syari’at dan sunnah,
maka itulah sebaik-baiknya bid’ah, sebagaimana yang dikatakan Umar RadhiAllahu
‘Anhu karena asal dari yang beliau lakukan itu adalah sunnah.”
Imam Nawawi
Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim Jilid VI/154;
“hadits Nabi
‘setiap bid’ah itu sesat’ adalah hadits yang yang ‘am makhshush (umum tapi
dikhususkan). yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid’ah. pera ahli
bahasa berkata; bid’ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahuluinya. para ulama berkata; bid’ah itu ada lima macam,
wajib, mandhub, haram, makruh dan mubah. termasuk bid’ah yang wajib adala
menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan
penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. termasuk
bid’ah yang mandhub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun mandrasah dan
tempat-tempat pengajian serta yang selainnya. termasuk bid’ah yang mubah adalah
memperbanyak warna-warna, makanan dan yang lainnya. sedangkan bid’ah yang haram
dan makruh sudah jelas. masalah ini telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya
yang luas dalam kitab ‘tahziibul asma’ was-shifat’. apabila dimengerti apa yang
telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadits Nabi itu termasuk
hadits yang ‘am makhshush dan begitu juga hadits-hadits yang serupa dengannya.
apa yang kami katakan ini diperkuat oleh pernyataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu
dalam hal slhalat tarawih, ‘dia adalah sebaik-baik bid’ah’. dan keadaan hadits
itu sebagai hadits yang ‘am makhshush tidak lah tercegah oleh sabda Nabi ‘kullu
bid’atin’ yang diperkuat dengan kata ‘kullu’ melainkan tetap dia itu dimasuki
oleh takhshish walaupun bersama ‘kullu’ seperti halnya firman Allah, ‘tudammiru
kulla syai’in (angin taufan itu menghancurkan sedala sesuatu)’, padahal ayat
ini walaupun ada kullu yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki oleh
takhshish karena yang dihancurkan oleh angin taufan itu memang bukan segala sesuatu.
terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak ikut hancur.”
Pendapat senada
juga diungkapkan ulama-ulama berikut;
- Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari IV/318
- Izzudin bin Abdus Salam dalam al-Qowaa’id
- Ali al-Qoori’ dalam Syahrul Misykaat
- Ibnu Muluk dalam Mabaariqul Azhaar Syarah Masyaariqul Anwar
- Jalaluddin as-Suyuti dalam Husnul Maqooshin fii ‘Amalil Maulid dan al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih
- Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhari
- Az-Zarqooni dalam Syarah al-Muwattho’
- Al-Hafidz Abu Syamah dalam kitabnya Al-Baa’its ‘ala Inkaaril Bida’wal-Hawaadits
- Al-Halabi dalam Insanul ‘Uyun fii Siirotin Nabiyyil Makmum
- Al-Baaji dalam Al-Muntaqo Syarah Al-Muwattho’
- Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aaridhotul Ahwazi Syarah At-Turmuzi
- As-Shon’ani dalam Sabulus Salam
- As-Syaukani dalam Nailul Author
Syeikh Muhammad
Arsyad al-Banjari dalam Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat Al-Mu’minin wa ma
Yufsidu min Riddatul Murtadin, Terbitan Kota Baru Pulau Laut Kalimantan
Selatan, Cetakan 1408H, Halaman 77-80;
Bid’ah adalah
mengada-adakan atau memperbaharui suatu pekerjaan yang tidak ada dalam agama
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam. Sama halnya apakah pekerjaan
itu berupa i’tiqad atau perbuatan, maka perkerjaan yang diada-adakan itu tidak
akan memberi maslahat kepada agama, ada kalanya Haram, Makruh serta Mubah, dan
ada kalanya memberi maslahat sehingga Wajib atau Sunnat hukumnya.
Oleh karena itu
bid’ah terbagi kepada lima bagian sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam
Nawawi dari Syeikh ‘Izzudin Ibnu Abdis Salam, beliau berkata bahwa bid’ah itu
terbagi kepada lima perkara yaitu:
1. Bid’ah yang Wajib, seperti
menafsirkan al-Qur’an, mensyarahkan Hadits, mengarang ilmu-ilmu alat,
menguraikan Bahasa Arab; Ilmu-ilmu bahasa, Nahwu dan Sharf, Ilmu Bayan, Ilmu
Ma’ani, Ilmu ‘Arudl, Ilmu Fara’id, menulis Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin serta
menulis kitab yang menerangkan Hadits Shahih, hasan dan Maudlu’ atau Hadits
Palsu
2. Bid’ah yang Sunnat, seperti
membangun madrasah dan menguraikan secara jelas masalah-masalah tasawwuf yang
Sunni.
3. Bid’ah yang Mubah seperti berjabat
tangan sesudah shalat subuh dan ashar, memakan makanan yang lezat, memakai
pakaian yang bagus menempati rumah yang bagus atau mewah, dan melonggarkan
lengan baju. Adapun mengenai berjabat tangan dikala bertemu bukanlah pekerjaan
bid’ah karena warid dengan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Bid’ah yang Makruh, seperti
menghiasi masjid, menghiasi mushhaf al-Qur’an.
5. Bid’ah yang Haram, seperti masalah
Jabariyyah, Qadariyyah, Murji’ah, Mujassimah, Wujudiyyah, dan lain sebagainya
dari i’tiqad dan perbuatan bid’ah
Menurut Imam
Syafi’i, segala pekerjaan yang menyalahi al-Qur’an, Hadits, serta perkataan
Sahabat atau Ijma’, maka termasuk bid’ah dhalalah.
Menurut Syeikh
Abu Syakur Salami Qaddasallahu Sirrahu, dalam kitab Tahmid, bid’ah itu terbagi
dalam lima perkara:
1. Bid’ah mengenai Dzat Allah
2. Bid’ah mengenai Sifat Allah
3. Bid’ah mengenai Kalam Allah
4. Bid’ah mengenai segala perbuatan
hamba
5. Bid’ah mengenai Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun bid’ah
mengenai Dzat Allah, Af’al, Kalam Allah, serta Sifat-sifatNya yang tidak
sepantasnya, sudah jelas hukumnya kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para
‘ulama dalam menetapkan kekafirannya.
Mengenai bid’ah
dalam perbuatan hamba atau para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, apabila bersalahan dengan firman Allah yang jelas, Hadits yang
ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, maka hukumnya tetap saja kafir
tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama. Sedang apabila bid’ah itu menyalahi
Qiyas dan Hadits yang tidak ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya,
termasuk Hadits yang dita’wil, yang menjadikan syubhat, maka tidaklah menjadi
kafir tetapi merupakan bid’ah sayyi’ah saja (termasuk perbuatan maksiat yang
amat keji, yang wajib taubat atas perbuatan tersebut).
No comments:
Post a Comment