Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau
ad-Diba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian
warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah
pujian terhadap Rasulullah yang ‘keblabasan’, karena di dalamnya tercatat
ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah
qashidah sebagaimana berikut:
يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ فَأَغِثْنِي
وَأَجِرْنِي
فِي مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ يَا غِيَاثِ
يَا مَلاَذِ
“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan
dari Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai penolongku, wahai tempat
berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”
Dua qashidah tersebut memberikan
pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan sifat sebagai Mujir
(penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat berlidung). Dan hal
tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang menyekutukan Allah. Karena
menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di sematkan pada Allah dan
bukan kepada makhluk.
Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga
kata tersebut, harus difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq
(yang di ciptakan) sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang
adalah bentuk syirik kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq,
adalah Dzat yang dapat memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak
mempunyai daya apa-apa untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang
lain. Begitu juga, Allah al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada
makhluk, namun makhluk sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini
yang dii’tiqadkan oleh segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Manusia, termasuk Rasulullah dan
lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai
makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai
makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada
sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.
Sekedar contoh, jika kita minta
pertolongan atau meminta perlindungan kepada seseorang karena kita sedang
kesusahan, dirundung marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya,
apakah berarti kita telah musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta
perlindungan langsung kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami
antara kedudukan khaliq dan makhluq diatas!?
Selanjutnya akan kita kupas ketiga
kata tersebut:
1. Kata Mujir
Lafaz mujir bukan termasuk Asma’ul
Husna (Nama-Nama Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat
hadits tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’
ash-Shaghir. Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat
yang kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi
(langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun
materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits shahih.
Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an
surat al-Mu’minun ayat 88 Allah berfirman:
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ
وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi
(menyelamatkan) tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika
kamu mengetahui.”
Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah
berfirman:
وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ
“Dan jika seseorang di antara
orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia
supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang
aman baginya.”
Kedua ayat tersebut memberikan
pengertian bahwasannya sifat mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada
Allah, akan tetapi selain Allah juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya,
kata mujir bisa saja disifatkan pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain
Allah seperti Rasulullah atau yang lain, pertolongan yang diberikan adalah
kadar kapasitasnya sebagai manusia atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu
seperti memintakan syafaat umatnya supaya tidak disiksa oleh Allah atau
syafa’at supaya mendapatkan ampunan dari Allah dan lain-lain. Sama halnya
dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di sematkan pada Rasulallah, selain
kedua kata tersebut juga termasuk asma’ul husna bagi Allah. Dan keduanya
mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan makhluk.
( Mengenai pembahasan memohon
syafa’at setelah Rasulullah wafat, lihat secara khusus dalam kitab At-Tahdzir
‘an al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab al-Hiwar hal 141 dengan di sertai
dalil-dalilnya yang kuat.
Hal ini merupakan bantahan terkait
dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya adalah Abdullah bin Mani’
pengarang kitab Hiwar ma’a al-Maliki- bahwa memohon syafaat Rasulallah setelah
beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).
Sayyid Hasyim ar-Rifa’i saat
menjelaskan kemampuan Rasulullah dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan
kesusahan para manusia (dalam shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi
berbagai kebutuhan dan menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat
melakukannya dengan tanpa bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang
yang bodoh. Sedangkan menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah
nisbat majazi (nisbat yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz
aqli).
2. Kata Ghiyats
Asma ghiyats (al-Mughits) banyak
diakui sebagai salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma
ghauts (al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat.
(Fatawi Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)
Artinya, sebagaimana Allah yang
menyandang sifat ghauts, selain Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga
bisa menyandang sifat tersebut, namun dalam koredor kapasitasnya sebagai
seorang makhluq.
Dengan begitu, sifat ghauts yang
dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan lain dari segala
kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh Rasulullah,
seperti memintakan syafa’at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu
diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan lain-lain.
Dalam sebuah hadits shahih riwayat
al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam
al-Mu’jam al-Kabir disebutkan:
لاَ يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ
بِاللهِ
“Aku tidak dibuat untuk itighatsah,
tapi yang dibuat istighatsah adalah Allah.”
Hadits ini kerap sekali di buat dalil
tentang keharamannya melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah
oleh mereka orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun
membuat dalil hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika
yang di maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak,
niscaya akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang
juga melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do’a kepada beliau. Dan
Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh
penta’wilan dan penjelasan.
Menurut Sayyid Muhammad Alawi
al-Maliki dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut
bertujuan menetapkan hakikat tauhid dalam pondasi i’tikad (aqidah) yang
sebenarnya, yakni bahwasannya al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara
hamba hanya berkapasitas sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah
dalam hadits diatas bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar
tidak meminta kepada hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya,
seperti memasukkan ke dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung
mati husnul khatimah.
Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat
di sifati mughits adalah dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan
berikut:
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ
مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا
مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis)
ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua
laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang
seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu
Musa meninjunya dan matilah musuhnya itu.”
Dalam hadits shahih tentang doa
istisqa’ (meminta hujan) yang masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988),
Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim (no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain
disebutkan:
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا
“Wahai Allah, berilah kami hujan yang
dapat menolong.”
Hadits doa meminta hujan tersebut
menggunkan kata “mughits” (hujan yg memberikan pertolongan) serta yang
mengajarkan adalah Rasulullah.
3. Kata Maladz
Maladz artinya, Rasulullah merupakan
ghiyats bagi orang-orang yang meminta perlindungan atau menjadi tempat
berlindung saat Allah sedang murka.
Pengertian kata ini juga sama dengan
2 kata di atas, artinya Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan
beliau. Termasuk perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk
merasa keberatan dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk
sesegera mungkin dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).
Dalam sebuah hadits shahih riwayat
al-Bukhari, dalam Shahih-nya:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا
بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya
matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai
separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam,
kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.”
Itulah jawaban yang harus
disampaikan, karena ucapan para penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah
(puji-pujian Nabi) seperti al-Barzanji, ad-Diba’i dan al-Bushiri dalam
al-Burdah adalah sudah benar adanya dan tidak menyelisih dari ajaran
Rasulullah.
Selain itu, mereka juga muslim taat
yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau syubhat dan
syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di mata
mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!
di kutip dari SARKUB
No comments:
Post a Comment